Kawasan Berorientasi Transit (TOD)
Jakarta berkembang sangat pesat. Lebih dari 18,6 juta kendaraan pribadi di Jakarta. Pengguna angkutan umum di Ibu Kota baru mencapai angka 24 persen. Ada sekitar 47,5 juta pergerakan orang di Jabodetabek. BPS DKI Jakarta pada 2015 mencatat setiap hari ada sekitar 1,4 juta pelaju dari daerah sekitar Ibu Kota. Kecenderungan perluasan di wilayah Jakarta-Bodetabek yang pesat dan kurang terkendali secara signifikan meningkatkan biaya transportasi, mengurangi tingkat mobilitas, dan menurunkan kualitas hidup.
Perluasan yang pesat dan tidak terkendali dari kota Jakarta dan Bodetabek tersebut sebagian besar berwujud permukiman berlantai rendah (hampir 64 persen total wilayah Jakarta) dan gedung-gedung berlantai rendah yang menyebabkan habisnya persediaan lahan di Jakarta. Sebagai dampak dari fenomena ini, Jakarta saat ini tidak memiliki cukup ruang untuk pembangunan di masa depan.
Membangun kota Jakarta secara ekstensif horizontal dengan hanya mengandalkan jaringan jalan raya dan kendaraan pribadi akan mengakibatkan kota berkembang semakin besar, tidak efisien, boros, dan tidak terkendali. Akibat terburuk adalah kelas menengah produktif semakin terpinggirkan ke luar kota sehingga menimbulkan ketimpangan sosial baik di dalam kota maupun di luar kota. Selain itu, ruang terbuka semakin hilang dan infrastruktur kota tidak dapat mengejar kecepatan perluasan kota sehingga mengakibatkan pelayanan publik merosot jauh di bawah standar. Ironinya, para penghuni dan pelaju terpaksa mengeluarkan biaya hidup yang semakin lama semakin tinggi tanpa disertai peningkatan layanan publik yang pantas.
Tiba saatnya Jakarta mengubah paradigma pembangunannya dengan tidak lagi berorientasi pada kendaraan pribadi khususnya mobil melainkan lebih berorientasi pada pejalan kaki dan kendaraan umum massal. Perubahan tersebut tidak hanya berhenti di penyediaan sistem transportasi massal yang memadai namun juga konsep pembangunan kota yang memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi penghuninya, termasuk pentaan kawasan, arus penumpang, dan integrasi antarmoda.
Persoalan tersebut yang mendorong PT MRT Jakarta untuk mengembangkan konsep kawasan berorientasi transit atau transit oriented development (TOD) di beberapa stasiun yang ada di fase 1 koridor selatan – utara. TOD merupakan area perkotaan yang dirancang untuk memadukan fungsi transit dengan manusia, kegiatan, bangunan, dan ruang publik yang bertujuan untuk mengoptimalkan akses terhadap transportasi publik sehingga dapat menunjang daya angkut penumpang.
Dengan konsep kawasan berorientasi transit, PT MRT Jakarta mendorong sejumlah keuntungan bagi masyarakat, yaitu:
- Mengurangi penggunaan kendaraan, kemacetan jalan, dan polusi udara;
- Pembangunan yang mendukung berjalan kaki serta gaya hidup sehat dan aktif;
- Meningkatkan akses terhadap kesempatan kerja dan ekonomi;
- Berpotensi menciptakan nilai tambah melalui peningkatan nilai properti;
- Meningkatkan jumlah penumpang transit dan keuntungan dari penjualan tiket;
- Menambah pilihan moda pergerakan kawasan perkotaan.
Dalam mengembangkan perencanaan TOD, PT MRT Jakarta menggunakan delapan prinsip, yaitu:
- Fungsi campuran (pengembangan fungsi campuran dalam radius tempuh jalan kaki dari setiap stasiun, yaitu fungsi komersial, perkantoran, kelembagaan, hunian, dan fasilitas umum) ;
- Kepadatan tinggi (memaksimalkan kepadatan dan keaktifan di sekitar stasiun transit) yang sesuai dengan daya dukung kawasannya;
- Peningkatan kualitas konektivitas (koneksi sederhana, langsung, dan intuitif yang mendukung mobilitas penggunan menuju, dari, dan di antara stasiun yang bebas kendaraan bermotor dan memiliki sistem penanda yang jelas menuju stasiun dalam kawasan pengembangan);
- Peningkatan kualitas hidup (pengalaman ruang yang menarik, aman, dan nyaman yang menunjang kebutuhan harian penumpang, pejalan kaki, pekerja, penghuni, dan pengunjung melalui jalan, plaza, ruang terbuka yang dapat memberi kontribusi positif kepada identitas dan karakter kawasan transit terpadu);
- Keadilan sosial (memampukan komunitas baru yang dapat bertahan dan sukses dalam jangka waktu panjang dengan membuka kesempatan pekerjaan dan hunian untuk semua kalangan sosial ekonomi, mempertahankan komunitas dan jaringan sosial yang ada di daerah pengembangan, dan menyediakan infrastruktur sosial untuk mendukung identitas dan hubungan komunitas yang lebih kuat);
- Keberlanjutan lingkungan (mengurangi dampak buruk pembangunan terhadap lingkungan dengan desain yang ramah lingkungan, penurunan jejak karbon sebagai dampak dari optimalisasi jalan kaki dan bersepeda, pembaruan air dan energi, menjaga ekosistem alam dan kota, serta pengolahan limbah untuk sumber daya baru);
- Ketahanan infrastruktur (merancang kota yang dapat bertahan dari bencana besar dan dampak perubahan iklim); dan
- Pembaruan ekonomi (pengembangan ekonomi lokal yang dapat menarik investasi dan peluang kerja baru).
Dalam pembangunan MRT Jakarta fase 1 koridor selatan – utara ini, Pemerintah DKI Jakarta pun telah memberikan mandat kepada PT MRT Jakarta (Perseroda) untuk menjadi operator utama pengelola kawasan TOD di lima kawasan, yaitu Lebak Bulus, Fatmawati, Blok M dan Sisingamangaraja, Istora, dan Dukuh Atas.
Stasiun Lebak Bulus merupakan stasiun pertama di koridor selatan – utara yang diharapkan dapat menjadi magnet bagi masyarakat penglaju dari daerah penyangga seperti Tangerang Selatan yang banyak beraktivitas di Jakarta. Para penglaju ini menggunakan kendaraan pribadi dan transportasi publik setiap hari dari area permukiman padat sehingga—seperti area lain padat permukiman—akan berkontribusi pada kemacetan.
Kehadiran konsep TOD yang memiliki sejumlah fasilitas penunjang mobilitas penumpang serta memiliki sistem transportasi pengumpan dari area tersebut diharapkan akan meningkatkan jumlah pengguna atau calon penumpang transportasi berbasis rel kereta ini sehingga masyarakat dapat mulai meninggalkan penggunaan kendaraan pribadi dalam mobilitas sehari-harinya.
Sedangkan kehadiran konsep transportasi terintegrasi di Dukuh Atas, akan mengatur arus penumpang yang menggunakan lima moda tranportasi berbeda di kawasan ini, yaitu MRT Jakarta, Bus Rapid Transit (BRT) Transjakarta, kereta bandara (railink), kereta komuter (commuterline), dan kereta Light Rapid Transit (LRT) Jabodebek yang sedang dikembangkan oleh pemerintah. Pergerakan manusia ini akan didukung oleh sistem pedestrianisasi kawasan, baik berupa infrastruktur pedestrian yang baru maupun upgrade dari yang ada serta ruang-ruang terbuka yang akan dibentuk.
Kawasan Cipete (yang mencakup Stasiun Cipete, Haji Nawi, dan Blok A) akan mendorong kawasan perdagangan yang saat ini tumbuh dengan konsep shopping street serta meningkatkan aksesibilitas di setiap bagian dari kawasan tersebut sehingga penyebaran kegiatan tidak hanya terjadi di jalan utama. Peningkatan aksesibilitas tersebut diutamakan untuk pejalan kaki dan non-motorized vehicles baik melalui jalan yang ada maupun menggunakan lahan-lahan milik pribadi melalui metode public use private own. Pengembangan kawasan transit terpadu ini diharapkan menjadikan MRT Jakarta atau moda transportasi publik lainnya sebagai pilihan masyarakat dalam mobilitas sehari-harinya.